Minggu, 22 Januari 2012

Efek Tayangan Kekerasan di Televisi Bagi Anak


Latar Belakang Efek Tayangan Kekerasan Bagi Anak

Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang, Angkatan 2009)
 
Pada era globalisasi ini, media massa seperti media elektronik yaitu televisi adalah media yang mampu menyebarkan berita informasi secara cepat dan memiliki kemampuan mencapai khalayak dalam jumlah besar dan tak terhingga pada waktu yang bersamaan. Media elektronik ini dikonsumsi di semua jenjang usia bahkan bagi anak-anak sekalipun sudah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kesehariannya, bahkan media elektronik sudah menjadi agenda wajib bagi mereka.
Seperti yang sebelumnya kita ketahui televisi merupakan alat komunikasi media publik yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat umum dibandingkan media masa lainnya. Televisi sangatlah sangatlah bersifat destruktif saat ini, setidaknya lebih banyak mengandung unsur ekspolitasi dibandingkan sisi eksplorasi. Sebab acara yang disajikan bukanlah menumbuhkan kreativitas dan mengembangkan wawasan keilmuan melainkan membuat masyarakat stagnan dan cenderung jalan di tempat.
Media elektronik mampu membuat orang pada umumnya selalu meniru apa yang mereka lihat, tidak menutup kemungkinan perilaku dan sikap anak tersebut akan mengikuti acara televisi yang ia tonton. Apabila apa yang ia tonton acara yang bersifat edukatif, maka akan bisa berdampak positif. Tetapi jika yang ia tonton lebih kepada hal yang tidak memiliki arti bahkan yang mengandung unsur-unsur negatif atau penyimpangan bahkan sampai pada kekerasan, maka hal ini akan memberikan dampak yang negatif pula terhadap pola perilaku anak yang menonton acara televisi tersebut.
Walaupun pengaruhnya tidak dapat dilihat secara langsung, namun tayangan televisi sangat mempunyai kemungkinan untuk memacu dan memberi stimulan pada daya apresiasi anak. Kisah-kisah yang ditampilkan tayangan televisi dapat membantu anak memahami kehidupan sekitarnya. Pada dasarnya sebuah tayangan televisi itu bersifat stimulan.
Oleh sebab itu, peran serta orang tua dalam keadaan ini sangat dibutuhkan. Sudah seharusnya setiap orang tua mengawasi acara televisi yang menjadi tontonan anaknya dan sehingga dapat melakukan proteksi terhadap dampak-dampak yang akan ditimbulkan. Untuk itu setiap orang tua agar lebih berhati-hati terhadap acara yang disiarkan media elektronik dan bisa mngantisipasi dampak-dampak  yang bisa ditimbulkan dari acara-acara tersebut. Serta orang tua harus lebih selektif dalam menjaga anak sehingga fungsi media elektronik sebagai sarana informatif, edukatif, rekreatif dan sebagai sarana mensosialisasi nilai-nilai atau pemahaman-pemahaman baik yang lama maupun yang baru dapat berjalan sebagaiman mestinya dan sebagaimana fungsinya.
Nilai moral dijadikan dasar berperilaku dan yang diupayakan kepada anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar disiplin diri adalah nolai moral dasar (agama).
Penempatann dan pengupayaan nilai moral dasar sebagai dasar pijakan berperilaku yang dilandasi oleh kesadaran mereka bahwa nilai dasar (agama) dapat menjadi benteng kokoh untuk mencegah anak-anak melakukan penyimpangan perilaku.
Tujuan pendidikan moral ini, sebenarnya dapat ditemukan dalam cakupan isi dan tujuan yang dikehendaki oleh bidang studi PKn yang diajarkan di sekolah di Indonesia, yaitu yang bersumber dari nilai-nilai kedua dari Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, konsep prinsip moralitas harus bermuara pada prinsip keadilan. Prinsip ini bersentral kepada nilai liberttyequality (kebebasan), (kesamaan), reciprocity (saling terima) dan setiap tahapan moral tersebut memperhatikan nilai-nilai keadilan.

Kamis, 19 Januari 2012

Pendidikan Multikulturalisme yang Berkembang di Indonesia Saat Ini


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Dalam proses pembelajaran siswa di sekolah peranan guru sangat penting karena dalam pembentukan sumber daya manusia, guru di sekolah sebagai pengajar dan pendidik anak-anak agar menjadi manusia yang terampil dalam keikutsertaannya dalam melaksanakan pembangunan nasional.

Tugas guru sebagai pengajar dan sekaligus pendidik bukanlah hanya berperan dalam mentransfer pengetahuan melalui proses pembelajaran saja, tetapi juga mengenai proses pentransferan nilai-nilai, norma-norma serta budaya yang berkembang. Dalam proses pendidikan tugas guru adalah memberikan bimbingan kepada siswa sesuai dengan taraf perkembangan siswa tentang kaidah–kaidah yang baik. 


BAB II 
PEMBAHASAN 

Berangkat dari keragaman itu yang hanya ditemukan di Indonesia munculah konsep mengenai pendidikan multikultural. Konsep pendidikan multikultural ini menawarkan bagi semua siswa yang berbeda ras, etnis, kelas sosial dalam kelompok sosial.

Pendidikan multikultural bertujuan untuk memperluas bukan hanya toleransi terhadap budaya yang berbeda, tetapi lebih jauh daripada itu yakni mengembangkan sikap mutual respect atau sikap saling menghormati, mengerti, menolong. Sedangkan, pelakasanaan konsep pendidikan multikultural ini memerlukan dikembangkannya pengalaman kelompok yang dibangun dengan memperhatikan pemahaman yang pada gilirannya  menjadi sikap yang relatif stabil dan konsisten.

A.  Sejarah  Munculnya Pendidikan Multikultural

Sebenarnya konsep pendidikan multikultural sudah ada sejak lama, yaitu dimulai sebagai  gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerikan keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Gerakan pendidikan multikultural telah dimulai sejak tahun 60-an, karena mereka menyadari bahwa bangsa Amerika mempunyai unsur dan berbagai suku bangsa di dunia.

Peran serta orangtua, kepala sekolah, guru serta proses belajar mengajar merupakan media yang dapat menyalurkan pendidikan multikultural serta menciptakan pendidikan yang bermuatan multikultural.






B.   Kenapa Pendidikan Multikultural

Strategi  dan konsep pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar si pendidik memahami dan ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana caranya siswa mempunyai sekaligus dapat mempraktekkan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan cultural yang ada disekitar mereka.

Agar tujuan pendidikan ini tercapai, maka diperlukan adanya peran serta dan dukungan dari
guru atau orang tua si anak maupun sekolah. Baik guru ataupun orangtua diharapkan mampu 
memahami konsep dan strategi  pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang 
terkandung dapat diajarkan sekaligus dipraktekkan.
Pendidikan multikultural memiliki tujuan awal dan tujuan akhir, diantaranya :  

1.  Tujuan Awal

Membangun wacana pendidikan multikulturalisme di kalangan guru, dosen, ahli pendidikan, 
pengamat kebijakan. Dengan harapan apabila mereka mempunyai wacana pendidikan 
multikultural  yang baik maka mereka tidak hanya mampu untuk membangun kecakapan dan 
keahlian siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkannya. Akan tetapi, juga mampu menjadi 
transformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai pluralisme, humanisme 
dan demokrasi secara langsung di sekolah.

2.  Tujuan Akhir 

Peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang 
dipelajarinya. Akan tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai 
karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis. 


BAB III 
PENUTUP

A.  Kesimpulan 
  1. Berdasarkan hasil yang diperoleh dan dipadupadankan dengan data yang ada, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :  
  2. Sistem persekolahan mempunyai peranan yang menentukan perkembangan potensi anak didik.
  3. Lingkungan pertama yang dikenal anak dalam pendidikan faktor kultural adalah lingkungan keluarga.
  4. Kultur merupakan katalisator pembentukan kepribadian manusia

B.  Saran 

Seorang anak akan mengenal sebuah pendidikan khususnya pendidikan mulitukultural dimulai 
dari lingkungan keluarga.

Daftar Pustaka

Yaqin, M.Ainul.2005.Pendidikan Multikulturalisme.Yoyakarta:Pilar Media

-  Kaelan.2004.Pendidikan Pancasila.Yogyakarta:Paradigma Yogyakarta.

Jumat, 13 Januari 2012

Hubungan Timbal Balik Antar Lingkungan Pendidikan

Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang, Angkatan 2009)

Keberadaan lingkungan pendidikan dalam suatu proses pendidikan sangatlah penting adanya. Lingkungan pendidikan merupakan salah satu unsure di dalam pendidikan sebagai suatu system. Lingkungan pendidikan pada dasarnya membicarakan hubungan dan pengaruh antara pendidikan dan lingkungannya. Karena lingkungan pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tercapainya tujuan pendidikan bagi peserta didik.
Lingkungan pendidikan adalah segala kondisi dan pengaruh dari luar terhadap kegiatan pendidikan. Dalam hal ini, pengertian lingkungan pendidikan disederhanakan menjadi tiga jenis yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
A.        Keluarga sebagai Lingkungan Pendidikan Pertama dan Utama
Keluarga merupakan lembaga sosial kodrati, artinya terbentuk karena kodratnya. Sesuai dengan kodratnya manusia adalah makhluk sosial, adanya tidak mungkin dipisahkan dari manusia lain. Selain sebagai lembaga sosial kodrati, keluarga juga merupakan lembaga sosial resmi atau formal. Formalisasi keluarga sebagai lembaga sosial terjadi dengan adanya pernikahan yang disahkan dengan Undang-Undang Perkawinan dengan ikatan cinta kasih. Berdasar pada ikatan Cinta kasih yang dilindungi oleh Undang-Undang Perkawinan itulah maka orangtua menjadi pendidik pertama dan utama, dengan hak dan kewajiban baik secara kodrat, moral maupun ilegal mendidik anak-anaknya. Dengan demikian meningkari tugas kewajiban mendidik berarti pelanggaran moral dan legal.
Pendidikan di lingkungan keluarga ini biasa disebut pendidikan informal. Pendidikan inin berlangsung tanpa organisasi, yakni tanpa orang tertentu yang diangkat atau ditunjuk sebagai pendidik, tanpa suatu program yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, tanpa evaluasi yang formal berbentuk ujian. Namun demikian, pendidikan informal ini sangat penting bagi pembentukan pribadi seseorang. Pengaruh orangtua dapat menentukan sikap dan nilai-nilai yang dijadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya. Pendidikan semacam ini tidak mengenal batas waktu dan berlangsung sejak anak lahir hingga akhir hidupnya
B.        Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan Kedua
Sekolah adalah lingkungan dan lembaga pendidikan yang kedua setelah keluarga. Sekolah muncul sebagai pendidikan modern yang bersifat formal, yang berfungsi membantu pendidikan di keluarga. Sekolah muncul karena tuntutan kebutuhan masyarakat modern. Makin maju suatu masyarakat kebutuhan makin kompleks sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh keluarga sendiri, termasuk dalam kebutuhan mendidik anak-anak mereka. Kemampuan orangtua dalam keluarga terbatasa dan tertinggal oleh perkembangan masyarakat, utmanya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Seni (IPTEKS). Untuk dapat tetap bertahan hidup dan mengikuti perkembangan IPTEKS, termasuk dalam upaya pendidikan, orangtua harus mendpat bantuan dari pihak lain yaitu sekolah dan masyarakat di luar keluarga.
Pendidikan di sekolah terlaksana secara melembaga. Lembaga-lembaga itulah yang dalam hal ini dimaksudkan sebagai wadah atau bentuk pendidikan di sekolah, dimana kegiatan mendidik dan didik itu terlaksana. Pendidikan pada dasarnya adalah pengajaran atau pembelajaran, yang tekanannya pada transformasi ilmu, pengetahuan dan teknologi serta seni. Isi materi yang disampaikan dalam proses pendidikan di sekolah mencakup pengajaran yang mendidik yang secara serentak memberi peluang pencpaian tujuan instruktusional bidang studi dan tujuan umum pendidikan lainnya, bimbingan dan penyuluhan sebagai program pengembangan kepribadian yang terlaksana dalam bentuk layanan pribadi atau individual atau layanan kelompok dan klasikal, pelatihan ketrampilan dapat diperoleh melalui pengajaran yang mendidik dan bimbingan-penyuluhan peserta didik telah ditumbuh kembangkan utamanya aspek kognitif dan afektif serta psikomotorik, pusat sumber belajar dapat dikembangkan dari perpustakaan sehat untuk mendukung terlaksananya proses pembelajaran, sekolah sebagai lingkungan sekaligus lembaga pendidikan perlu dikelola,diatur, ditata dan dimanipulasi sedemikan rupa sehingga aman dan nyaman serta mendukung terlaksananya program pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan.
C.        Masyarakat sebagai Lingkungan Pendidikan Ketiga
Pendidikan masyarakat biasa dikenal dengan pendidikan non-formal meliputi berbagai usaha khusus yang diselenggarakan secara terorganisasi agar terutama generasi muda dan juga orang dewasa, yang tidak dapat sepenuhnya atau sama sekali tidak berkesempatan mengikuti pendidikan sekolah sekolah dapat memiliki pengetahuan praktis dan ketrampilan dasar yang mereka perlukan sebagai warga masyarakat yang produktif. Dengan demikian makna dan peranan pendidikan non-formal tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan pendidikan formal.
Pendidikan non-formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau pelengkap. Pendidikan non-formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan non-formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja. Satuan pendidikan non-formal terdiri atas lembaga khusus, lembaga pelatihan, kelompok belalajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.