Jumat, 24 Februari 2012

KEMITRAAN ORANG TUA DAN PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN BUDI PEKERTI ANAK



Oleh :
Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi PGSD IKIP PGRI Semarang)

        Kondisi masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa terjadi suatu keguncangan yang cukup memprihatinkan dalam perkembangan peradaban bangsa kita. Nilai-nilai fundamental mulai memudar dari hati  nurani manusianya sendiri. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan adanya merosotnya nilai moralitas sebagian masyarakatnya dalam bentuk ketergantungan narkotik dan obat terlarang lainnya.
Upaya lahir dan batin tidaklah cukup jika hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari rakyat Indonesia saja, tetapi tentu saja diharapkan bagi seluruh masyarakat dan dari seluruh lapisan masyarakat haruslan mengkonstruksi pendidikan nilai dan spriritualitas bagi rakyat Indonesia. Karena penanaman nilai secara dini dilakukan dalam keluarga, terutama oleh orang tua, kemudian di sekolah secara formal oleh guru, maka perlu rekonstruksi dilakukan oleh peran orang tua serta peran guru.


 

Pendidikan nilai di lingkungan keluarga dan sekolah memang memerlukan berbagai inovasi, guna mengatasi masalah yang kita hadapi saat ini dan untuk mengantisipasi masalah yang mungkin muncul pada masa yang akan datang. Karena masalah besar hanya mungkin akan dapat diatasi secara bersama-sama dan dengan koordinasi yang bagus pula. Maka dari itu,  perlu dipikirkan pula kemungkinan  terjadi dalam melaksanakan pendidikan nilai, yang secara relatif sesuai dengan tantangan mas kini dan masa yang akan datang.
Kerja sama yang sinergis antara sekolah dan keluarga perlu ditingkatkan supaya tidak terjadi kontradiksi atau ketidakselarasan antara nilai-nilai yang harus dipegang teguh oleh anak-anak di sekolah  dan yang harus yang mereka ikuti di lingkungan keluarga atau masyarakat. Apabila terjadi konflik nilai, anak-anak mungkin akan merasa bingung sehingga tidak memiliki pegangan nilai yang menjadi acuan dalam berperilakunya. Akibatnya, mereka tidak mampu mengontrol diri dalam menghadapi pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan sekitar mereka.
Pola kemitraan  antara sekolah dan keluarga yang dilakukan keduanya itu berlangsung secara alamiah dan berkesinambungan sehingga dapat menyatukan langkah dalam mendidik putra-putri bangsa Indonsia. Penciptaan suasana yang kondusif bagi pendidikan nilai, baik di sekolah maupun di rumah tampaknya merupakan salah satu bentuk kemitraan yang perlu dikembangkan secar berkelanjutan.
Suasana kehidupan di sekolah dan di rumah mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, karena hal itu merupakan wahana penyemaian nilai-nilai yang akan dijadikan acuan oleh anak dalam setiap tindakannya. Untuk itulah ciptakan suasana yang tenteram bagi anak, hal ini dimaksudkan timbul kesukarelaan dari diri anak itu sendiri untuk melakukan dorongan kuat mengerjakan tugas sekolah dan tugas rumah dengan sebaik-baiknya. Lebih dari itu, mereka akan sukarela menerima dan mengamalkan nilai-nilai positif yang menjadi keyakinan mereka beserta seluruh anggota keluarga.
Nilai-nilai positif yang hendak dikembangkan di sekolah, yang juga diprogramkan untuk dikembangkan di lingkungan keluarga, hendaknya merupakan hasil diskusi pihak sekolah dan perwakilan orang tua peserta didik. Selanjutnya, hal itu perlu diasosiasikan kepada seluruh orang tua peserta didik. Caranya tidaklah harus melalui tatap muka, tetapi dapat dilakukan lewat brosur-brosur sehingga dapat dibaca ulang oleh orang tua, atau apabila memungkinkan lebih baik dibacakan oleh anak kepada orang tuanya masing-masing. Komunikasi tertulis ini sedapat mungkin dikembangkan, agar pihak sekolah dan keluarga dapat secara mudah saling mengingatkan apabila terjadi penyimpangan dari keputusan yang telah dibuat bersama.

Sumber Referensi : 
  1. Bahri Djamarah, Syaiful. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta
  2. Ivona, Indah. 2003. Pendidikan Budi Pekerti Untuk SD. Yogyakarta : Kanisius
  3. Zuchdi, Darmayati. 2008. Humanisasi Pendidikan. Yogyakarta : Bumi Aksara



Sabtu, 18 Februari 2012

MUNCULNYA KONSEPSI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR


Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang, Angkatan 2009)
 
Dalam proses pembelajaran yang diharapkan adalah tercapainya hasil belajar yang baik. Sebagai tolok ukur akan keberhasilan dalam proses pembelajaran, pada umumnya adalah dari kebanyakan lulusan yang bermutu tinggi, dan hal tersebut sesuai dengan kebutuhan akan masyarakat.
Menurut Mikarsa dalam (Listyaningsih : 459), mengemukakan bahwa upaya peningkatan kualitas pembelajaran di Indonesia harus dimulai dari tingkat pendidikan yang paling dasar yaitu tingkat sekolah dasar. Karena pada pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) merupakan tingkat awal dan sebagai titik tolak bagi pendidikan selanjutnya. Dalam pendidikan di SD bukanlah hanya sekedar hanya memberikan bekal kemampuan intelektual dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung saja melainkan juga sebagai proses mengembangakan kemampuan dasar peserta didik secara optimal dalam aspek intelektual, sosial dan personal untuk dapat melanjutkan pendidikan di jenjang berikutnya yaitu SLTP atau yang sederjat.
Berdasarkan pendapat ahli diatas memang tidaklah benar bahwa pendidikan hanya akan sekedar memberikan bekal kemampuan dasar semata, melainkan kemampuan serta ketrampilan yang terkait dengan kehidupan peserta didik di masa mendatang juga diperlukan. Terlebih lagi untuk di masa sekarang ini, banyak pendidikan tercemari oleh ketidakmampuan manusianya untuk bisa menangani konsep dirinya sendiri secara baik dan benar. Bahkan tak jarang manusianya itu tidak dapat bertanggung jawab atas dirinya maupun kualitas terhadap kehidupannya.
A.           Munculnya Konsepsi  Pendidikan Budi Pekerti
Adanya pendidikan nilai/moral atau pendidikan budi pekerti ini mulai muncul ketika banyak fenomena yang terjadi saat ini adalah banyaknya manusia dari berbagai lapisan masyarakat yang memang dikatakan masih belum sadar akan nilai moralitasnya dalam tindakan nyata di kehidupan sehari-hari. Mereka masih mengabaikan bahkan tidak perduli akan nilai moralitasnya yang mulai terkikis.
Untuk itulah perlu disadari benar bahwa nilai moralitas yang dapat ditanamkan melalui pendidikan budi pekerti baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat, pentinglah keberadaannya. Hal ini tentu saja, secara tidak disadari akan mempengaruhi kelangsungan hidup manusianya itu sendiri baik di masa sekarang maupun di masa mendatang.
Berikut merupakan bentuk pendidikan budi pekerti yang terjadi di sekolah dasar :





B.            Konsepsi Pendidikan Nilai dan Moralitas
Pendidikan moral/nilai dapat disampaikan dengan metode langsung maupun tak langsung dalam pembelajaran di sekolah, tetapi hal tersebut dapat disisipkan dalam pembelajaran sehingga secara tidak langsung ada proses penanaman pendidikan nilai kepada peserta didik. Namun, perlu diingat bahwa tindakan moral haruslah selaras pemikiran moral hanya mungkin dicapai lewat pencerdasan emosional dan spiritual serta pembiasaan.
Pendidikan moral atau nilai hendaknya difokuskan pada kaitan antar pemikiran moral dan tindakan bermoral. Konsepsi moralitas perlu diintegrasikan dengan pengalaman dalam kehidupan sosial. Pemikiran moral dapat berkembang antara lain dengan dilema moral, yang menuntut keputusan dalam kondisi yang sangat dilematis. Diharapkan dengan cara ini, pemikiran moral dapat berkembang dari tingkat yang paling rendah yang berorientasi  pada kepatuhan pada otoritas karena takut akan hukuman fisik ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi.
Pengembangan pemikiran moral perlu disertai dengan pengembangan komponen afektif (sikap dan perilaku). Dalam proses perkembangan moral, kedua komponen tersebut yaitu komponen kognitif dan afektif sama pentingnya. Aspek kognitif memungkinkan seseorang dapat menentukan pilihan moral secara tepat, sedangkan aspek afektif menajamkan kepekaan hati nurani, yang memberikan dorongan untuk melakukan tindakan bermoral.

Senin, 06 Februari 2012

Penanaman Pendidikan Moral Pada Anak


 Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang, Angkatan 2009)


Pada dasarnya adalah mengupayakan anak untuk mempunyai kesadaran dalam berperilaku taat moral yang secara otonom berasal dari dala diri sendiri (Kurniarti 1992:112). Dasar otonomi nilai moral adalah identifikasi dan orientasi diri (soelaeman 1994). Pola hidup keluarga (Ayah dan Ibu) merupakan model ideal bagi peniruan dan pengidentifikasian perilaku dirinya otonomisasi nilai moral dalam diri anak yang berlangsung dua tahap : a). Pembiasaan Diri, b).Identifikasi Diri
Penempatan dan pengupayaan nilai moral dasar sebagai dasar pijakan berperilaku yang dilandasi oleh kesadaran mereka bahwa nilai dasar (agama) dapat menjadi benteng kokoh untuk mencegah anak-anak melakukan penyimpangan-penyimpangan perilaku. Bila perilaku telah terseret ke dalam perilaku-perilaku tersebut, upaya-upaya mereka untuk menanamkan kepemilikan dan pengembangan disiplin diri akan sulit tercapai.
Bergling (1985) mengembangkan dua macam metode pendidikan moral yang diprediksikan memiliki kemampuan  yang sama dalalm meningkatkan pertimbangan moral anak. Tinggi atau rendahnya moralitas anak dapat dilihat dari tingkat perkembangan moralnya. Oleh karena itu, Kohlberg (1971) menekankan tujuan pendidikan moral adalah merangsang perkembangan tingkat pertimbangan moral anak. Kematangan pertimbangan moral jangan diukur dengan tingkat standar regional, tetapi hendaknya diukur dengan pertimbangan moral yang benar-benar menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yangbersifat universal, berlandaskan prinsip keadilan, persamaan dan saling terima (Bergling, 1985).
Bentuk pendidikan moral pada hakikatnya lebih cocok dengan semangat moralitas baru yang meletakkan tujaun moral hanya pada pengembangan dengan bantuan moral discourse dalam pandangan moral. Dengan demikian, berarti pendidikan moral membantu mengembangkan pemahaman moral seperti cinta kasih dan kesamaan, yang merupakan tujuan program pendidikan moral (Frankena 1971:395-398).
Tujuan moral secara filosofis menyerukan kebebasan dan kebiasan berpikir sehingga mampu melahirkan pertimbangan yang bersifat universal untuk seluruh umat manusia. Prinsip moral secara filosofis tidak membedakan seluruh peraturan, sedangkan nilai moral secara konkret didasarkan pada aturan khusus yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu (Kohlberg 1971:129-145). Tujuan pendidikan moral ini, sebenarnya dapat ditemukan dalam cakupan isi dan tujuan yang dikehendaki oleh bidang studi PKn yang diajarkan oleh sekolah di Indonesia, yaitu yang bersumber dari nilai-nilai sila kedua dari Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kant (Kolhberg 1977) memformulasikan dua cara untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan moral secara filosofis yaitu:
a.   Memaksimalkan rasa hormat kepada manusia secara perorangan. Tindakan seseorang hendaknya selalu diarahkan kepada orang lain sebagai tujuan akhir dan bukan sebagai alat.
b.   Memaksimalkan universalisasi.
      Tujuan pendidikan moral bukan saja demi terlaksananya aturan yang didukung otoritas sosial tertentu, melainkan jug menghendaki prinsip-prinsip yang dipilih secara bebas oleh individu berdasarkan validitas intrinsik moralitasnya.

Oleh karena itu prinsip moralitas harus bermuara pada prinsip keadilan. Prinsip ini bersentral kepada nilai libertty (kebebasan), equality (kesamaan), reciprocity (saling terima) dan setiap tahapan moral tersebut memperhatikan nilai-nilai keadilan.
Beddoe (1981), menyarankan agar pendidikan moral hendaknya dilaksanakan dengan mengembangkan suatu tipe kehidupan yang memungkinkan seseorang memiliki sifat respec yang mendalam kepada orang lain. Tujuan pendidikan moral seperti ini akan lebih sesuai apabila dihubungkan dengan kondisi era globalisasi yang melanda dunia karena revolusi industri dan derasnya informasi yang pada gilirannya akan lebih banyak melahirkan konflik dan perubahan nilai-nilai ke arah universalisme.