Senin, 23 April 2012

Mengembangkan Ketrampilan Berbicara untuk Siswa Sekolah Dasar


 Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang, Angkatan 2009)

a)             Pentingnya Ketrampilan Berbicara bagi Peserta didik Sekolah Dasar
Pentingnya penguasaan keterampilan berbicara untuk peserta didik Sekolah Dasar juga dinyatakan oleh Farris (Supriyadi, 2005:179) bahwa pembelajaran keterampilan berbicara penting dikuasai peserta didik agar mampu mengembangkan kemampuan berpikir, membaca, menulis, dan menyimak. Kemampuan berpikir mereka akan terlatih ketika mereka mengorganisasikan, mengonsepkan, mengklarifikasikan, dan menyederhanakan pikiran, perasaan, dan ide kepada orang lain secara lisan. 

Keterampilan berbicara harus dikuasai oleh para peserta didik Sekolah Dasar karena keterampilan ini secara langsung berkaitan dengan seluruh proses belajar peserta didik di Sekolah Dasar. Keberhasilan belajar peserta didik dalam mengikuti proses kegiatan belajar-mengajar di sekolah sangat ditentukan oleh penguasaan kemampuan berbicara mereka. Peserta didik yang tidak mampu berbicara dengan baik dan benar akan mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran untuk semua mata pelajaran.
Seperti yang diungkapkan Galda (dalam Supriyadi, 2005: 178) keterampilan berbicara di SD merupakan inti dari proses pembelajaran bahasa di sekolah, karena dengan pembelajaran berbicara peserta didik dapat berkomunikasi di dalam maupun di luar kelas sesuai dengan perkembangan jiwanya. Pendapat tersebut juga didukung oleh Farris (dalam Supriyadi, 2005: 179) yang menyatakan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara penting diajarkan karena dengan keterampilan itu seorang peserta didik akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir, membaca, menulis, dan menyimak. Kemampuan berpikir tersebut akan terlatih ketika mereka mengorganisasikan, mengonsepkan, dan menyederhanakan pikiran, perasaan, dan ide kepada orang lain secara lisan.

b)            Faktor Penunjang dan Faktor Penghambat Ketrampilan Berbicara
Dalam ketrampilan berbicara dalam proses pembelajaran memiliki faktor penunjang yang mampu meningkatkan ketrampilan berbicara. Namun, memanglah dipastikan akan mengalami kendala yang berarti dalam ketercapainnya. Berikut faktor penunjang dan faktor penghambat dalam peningkatan ketrampilan berbicara peserta didik sekolah dasar :

1)             Faktor Penunjang Ketrampilan Berbicara
Berbicara atau kegiatan komunikasi lisan merupakan kegiatan individu dalam usaha menyampaikan pesan secara lisan kepada sekelompok orang, yang disebu juga audience atau majelis. Supaya tujuan pembicaraan atau pesan dapat sampai kepada audience dengan baik, perlu diperhatikan beberapa faktor yang dapat menunjang keefektifan berbicara. Kegiatan berbicar juga memerlukan hal-hal di luar kemampuan berbahasa dan ilmu pengetahuan. Pada saat berbicara diperlukan;  a) penguasaan bahasa, b) bahasa, c) keberanian dan ketenangan, d) kesanggupan menyampaikan ide dengan lancar dan teratur.
Faktor penunjang pada kegiatan berbicara sebagai berikut. Faktor kebahasaan meliputi;  a) ketepatan ucapan, b) penempatan tekanan nada, sendi atau durasi yang sesuai, c) pilihan kata, d) gerak-gerik dan mimik yang tepat, e) kenyaringan suara, f) kelancaran, g) relevansi dan penalaran, h) penguasaan topik.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan berbicara adalah faktor kehahasaan (linguistik) dan non kebahasaan (non linguistik).

2)             Faktor Penghambat Ketrampilan Berbicarau
Ada kalanya proses komunikasi mengalami gangguan yang mengakibatkan pesan yang diterima oleh pendenganr tidak sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara. Oleh karena itu, ada tiga faktor penyebab gangguan dalam kegiatan berbicara antar lain :
  • Faktor fisik, yaitu faktor yang ada pada partisipan sendiri dan faktor yang berasal dari luar partisipan. 
  •  Faktor media, yaitu faktor linguitisk dan faktor nonlinguistik, misalnya lagu, irama, tekanan, ucapan, isyarat gerak bagian tubuh, dan
  • Faktor psikologis, kondisi kejiwaan partisipan komunikasi, misalnya dalam keadaan marah, menangis, dan sakit.

Sumber Referensi :
Gathercok, Susan E. 2009. Memori Kerja dan Proses Belajar. Jakarta : PT INDEKS
Mulyati. 2010. Diagnosa Kesulitan Belajar. Semarang : IKIP PGRI PRESS
Mulyono, Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : PT Asdi Mahasatya

Minggu, 22 April 2012

Hakekat Belajar bagi Seorang Siswa


Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang, Angkatan 2009)

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, secara etimologis belajar memiliki arti “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”. Definisi ini memiliki pengertian bahwa belajar adalah sebuah kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu.

Baharuddin, (2007:11) menyatakan bahwa belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketampilan, dan sikap. Belajar ini merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman.

Pendapat diatas merupakan definisi etimologis, maka diperlukan pula definisi belajar secara terminologis. Menurut Cronbach (Baharuddin: 2007) bahwa “Learning is shown by change in behavior as result of experince” diartikan bahwa belajar yang terbaik adalah melalui pengalaman. Dengan pengalaman tersebut pelajar menggunakan seluruh pancaindranya. Pendapat lainnya mneurut Woolfolk (Baharuddin:2007) juga menyatakan bahwa “Learning occurs when experience causes a relatively permanent change in an individual’s knowledge or behavior” diartikan bahwa disengaja atau tidak perubahan yang terjadi melalui proses belajar ini bisa ke arah yang lebih baik atau malah sebaliknya, ke arah yang salah. Yang jelas, kualitas belajar seseorang ditentukan oleh pengalaman-pengalaman yang diperolehnya saat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Menurut Syaiful Bahri Djamaramah, (2006) menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan peilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya tujuan belajar adanya perubahan tingkah laku, baik menyangkut pengetahuan, ketrampilan maupun sikap dan bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi.

Belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalaman. Pengalaman itu bersifat tentatif dan tidak lengkap, Nurhadi (Baharuddin:2007)

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa belajar merupakan proses untuk memperoleh kepandaian ataupun ilmu untuk mengembangkan ketrampilan dan kompetensi diri sebagai bentuk perubahan tingkah laku melalui latihan, berdasarkan pengalaman yang telah diterimanya dari berinteraksi.

Sumber Referensi :
Baharuddin. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruz Media
Bahri Djamaramah, Syaiful. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta

Minggu, 15 April 2012

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBUAT (Action Learning Approach)


Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang, Angkatan 2009)


Masnur Muslich (2010:118) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) menekankan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun cara bersama-sama dalam suatu kelompok. 
Pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newman, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan ketrampilan “moral reasongi” dan dimensi efektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis, menurut Masnur Muslich (Elias, 1989).

Mansur Muslich (2010:120) menyatakan bahwa kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi. Sementara kelemahan pendekatan ini menurut Elias (1989), sulit dipraktikkan dan hanya sebagian program-programnya saja yang dapat dipraktikkan.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran berbuatdapat diterapkan kepada siswa demi menerapkan salah satu pendidikan karakter yaitu karakter demokrasi dalam bentu program-program moral. Program moral tersebut sepatutnya akan menghasilkan warga negara yang aktif, yakni warga negara yang memiliki komptensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya (envirowment competence), yaitu :
a)             Kompetensi fisik (physical competence), yang dapat memberikan nila tertentu terhadap suatu objek. Misalnya : melukis sesuatu, membangun sebuah rumah, dan sebagainya.
b)             Kompetensi hubungan antarpribadi (interpersonal competence), yang dapat memberikan pengaruh kepada orang-orang melalui hubungan antar sesama. Misalnya : saling memperhatikan, persahabatan, hubungan ekonomi, dan sebagainya.
c)             Komptensi kewarganeraan (civic competence), yang dapat memberikan pengaruh kepada urusan-urusan masyarakat umum. Misalnya : proses PEMILU dengan memberi bantuan kepada seseorang calon atau partai peserta untuk memperoleh kemenangan, atau melalui kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi perubahan kebijaksanaan umum.

Dalam pendekatan pembelajaran berbuat lebih menekankan pada program-program pendidikan moral, baik perseoranganmaupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan pendekatan ini, yakni :
a)             Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri.
b)             Mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenunya. Melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat yang harus mengambil bagian dalm suatu proses demokrasi.


Daftar Pustaka :
Muslich, Mansur. 2010. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Sabtu, 14 April 2012

FAKTOR KEBERHASILAN MERAIH PRESTASI BELAJAR PESERTA DIDIK


Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang, Angkatan 2009)

Menurut Muhibbin Syah, (2006:144) mengemukakan bahwa secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni :
a)             Faktor Internal (faktor dari dalam siswa) yakni keadaan/kondisi diri jasmani dan rohani siswa meliputi dua aspek yaitu :
1)             Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran.
2)             Aspek Psikologis
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan belajar siswa. Namun, diantara faktor-faktor rohanilah siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut : tingkat keceradasa/intelegensi siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa , dan motivasi siswa.
b)             Faktor Eksternal (faktor dari luar siswa) yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. Seperti halnya faktor internal, faktor eksternal juga terdiri atas dua macam :
1)             Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial yang dimaksudkan disini ada beberapa diantaranya yaitu sekolah, masyarakat dan tetangga, dan lingkungan keluarga.
2)             Lingkungan Nonsosial
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.


c)             Faktor Pendekatan Belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan mempelajari materi-materi pelajaran .Segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses mempelajari materi tertentu. Strategi yang dimaksudkan berupa seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu, Muhibbin Syah (Lawson, 1991)

Sumber Rujukan :
Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

DAMPAK PENDIDIKAN KARAKTER TERHADAP KEBERHASILAN AKADEMIK


Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang, Angkatan 2009)

Add caption

Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan itu. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal tersebut yang diterbitkan sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Patrnership.
Dalam buletin tersebut siuraikan yang merupakan hasil studi dari Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri-St.Louis menunjukkan peningkatan motivasi belajar dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan penurunan drastis pada perilaku negatid siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Pendidikan karakter adalan pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek teori pengetahuan (Cognitive), perasaan (Feelling), dan tindakan (Action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek tersebut, maka pendidikan karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjdasi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan kecerdasan emosional seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Buku berjudul Emotional Intellegent and School Succes (Joseph Zins, et.al, 2001) mengompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosional anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan ada sederet faktor-faktor penyebab kegagalan anak di sekolah, diantaranya ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkosentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Sumber Rujukan :
Muslich, Masnur. 2010. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta : Bumi Aksara.

Sabtu, 07 April 2012

HAKIKAT PENGEMBANGAN KETRAMPILAN BERBICARA


Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang)

a)             Pengertian Ketrampilan Berbicara
Keterampilan berbahasa terdiri dari empat aspek, yaitu menyimak atau mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Peserta didik harus menguasai keempat aspek tersebut agar terampil berbahasa. Dengan demikian, pembelajaran keterampilan berbahasa di sekolah tidak hanya menekankan pada teori saja, tetapi peserta didik dituntut untuk mampu menggunakan bahasa sebagaimana fungsinya, yaitu sebagai alat untuk berkomunikasi.
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, artinya suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menyampaikan gagasan, pikiran atau perasaan sehingga gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran pembicara dapat dipahami orang lain. Berbicara berarti mengemukakan ide atau pesan lisan secara aktif melalui lambang-lambang bunyi agar terjadi kegiatan komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Memang setiap orang dikodratkan untuk bisa berbicara atau berkomunikasi secara lisan, tetapi tidak semua memiliki keterampilan untuk berbicara secara baik dan benar. Oleh karena itu, pelajaran berbicara seharusnya mendapat perhatian dalam pengajaran keterampilan berbahasa di sekolah dasar.
Berbicara diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan dan menyampaikan pikiran, gagasan, serta perasaan (Tarigan, 1983:14). Dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis,semantik, dan linguistik.

b)            Tujuan Ketrampilan Berbicara
Setiap kegiatan berbicara yang dilakukan manusia selalu mempunyai maksud dan tujuan. Menurut Tarigan (1983:15) tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka sebaiknya sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikombinasikan, dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasi terhadap pendengarnya, dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala sesuatu situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Menurut Djago, dkk (1997:37) tujuan pembicaraan biasanya dapat dibedakan atas lima golongan yaitu (1) menghibur, (2) menginformasikan, (3) menstimulasi, (4) meyakinkan, dan 5) menggerakkan.
Pentingnya keterampilan berbicara atau bercerita dalam komunikasi juga diungkapkan oleh Supriyadi (2005:178) bahwa apabila seseorang memiliki keterampilan berbicara yang baik, dia akan memperoleh keuntungan sosial maupun profesional. Keuntungan sosial berkaitan dengan kegiatan interaksi sosial antarindividu. Sedangkan, keuntungan profesional diperoleh sewaktu menggunakan bahasa untuk membuat pertanyaa-pertanyaan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan dan mendeskripsikan. Keterampilan berbahasa lisan tersebut memudahkan peserta didik berkomunikasi dan mengungkapkan ide atau gagasan kepada orang lain.

Daftar Referensi :
Ali, Muhammad. 2004. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algasindo
Egar, Kiera. 2009. Pengajaran yang Imajinatif. Jakarta : PT. INDEKS
Gathercok, Susan E. 2009. Memori Kerja dan Proses Belajar. Jakarta : PT INDEKS
Mulyati. 2010. Diagnosa Kesulitan Belajar. Semarang : IKIP PGRI PRESS