Selasa, 06 Maret 2012

EFEKTIVITAS LINGKUNGAN MASYARAKAT TERHADAP TERBENTUKNYA KEPRIBADIAN ANAK

Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang)

Masyarakat sebagai lembaga pendidikan ketiga yang ruang lingkupnya berbeda dari pendidikan formal maupun pendidikan informal. Karena lingkungan masyarakat memiliki  batasan yang tidak jelas dengan keanekaragaman bentuk sosial serta berjenis-jenis budayanya.
Pendidikan masyarakat biasa dikenal dengan pendidikan non-formal meliputi berbagai usaha khusus yang diselenggarakan secara terorganisasi agar terutama generasi muda dan  juga orang dewasa, yang tidak dapat sepenuhnya atau sama sekali tidak berkesempatan mengikuti pendidikan sekolah dapat memiliki pengetahuan praktis dan ketrampilan dasar yang mereka perlukan sebagai warga masyarakat yang produktif. Dengan demikian makna dan peranan pendidikan non-formal tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan pendidikan formal.
Pendidikan non-formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau pelengkap. Pendidikan non-formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Pendidikan non-formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja. Satuan pendidikan non-formal terdiri atas lembaga khusus, lembaga pelatihan, kelompok belalajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Usaha  pendidikana non-formal dapat diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta dan masyarakat di sekolah maupun di luar gedung sekolah. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, kecakapan hidup, dan sikap mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja , usaha mandiri dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Penyelenggaraan pendidikan ini dapat diselenggaran secara sederhana tanpa mendirikan gedung secara khusus, dapat menggunakan sarana fisik yang telah tersedia seperti bangunan sekolah, bangunan pondok pesantren, balai desa, sanggar pramuka.
Di masyarakat terdapat norma sosial budaya yang harus diikuti oleh warganya, norma-norma itu berpengaruh dalam pembentukan kepribadian warganya dalam bertindak dan bersikap. Norma-norma masyarakat yang berpengaruh tersebut sudah merupakan aturan-aturan yang ditularkan dari generasi tua ke generasi muda. Penularan yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan ini sudah merupakan proses pendidikan masyarakat.
Pengaruh lingkungan masyarakat tidaklah termasuk bentuk pendidikan, karena proses pengaruhnya tidak dengan kesadaran dan tidak secara sengaja membawa anak didik ke arah kedewasaan dan pada pengaruh lingkungan masyarakat tidak ada unsur tanggung jawab orang dewasa terhadap yang belum dewasa. Seperti adanya pengaruh sesama kawan sepermainan.
Oleh sebab itu tujuan yang akan dicapai bersifat khusus, programnya terbatas, waktu belajar lebih singkat, sehingga sering tidak perlu diadakan jenjang yang formal. Hasil pendidikan non-formal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Sumber Referensi : 
  1. Ahmadi, Abu. 2003. Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
  2. Hadikusumo, Kinaryo Drs, dkk. 1996. Pengantar Pendidikan. Semarang: IKIP PGRI Semarang
  3. Suparlan, M.Ed, Drs. 2008. Membangun Sekolah Yang Efektif. Jakarta : Hikayat 
  4. Sudharto, M.A, Dr. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang : IKIP PGRI Semarang

Kamis, 01 Maret 2012

BERKEMBANGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM LINGKUNGAN PENDIDIKAN FORMAL OLEH GURU


 Oleh : Lisdiana Kurniasih (Mahasiswi IKIP PGRI Semarang)

Bangsa dan negara Indonesia merupakan suatu bangsa yang besar. Seperti yang telah kita ketahui bahwa bangsa Indonesia memiliki berbagai keragaman diantaranya keragaman sosial, budaya, agama, aspirasi politik, ras dan lain-lain.Berangkat dari keragaman  itu,  maka munculah konsep Pendidikan Multikultural. Dalam konsep pendidikan multikultural ini menawarkan bagi semua peserta didik yang berbeda ras, etnis,agama serta  kelas sosial dalam kelompok sosial.


            Pendidikan multikultural ini bertujuan memperluas berbagai hal bukan hanya toleransi terhadap budaya yang berbeda, tetapi lebih jauh daripada itu yakni mengembangkan sikap mutual respect atau sikap saling menghormati, mengerti, menolong. Sedangkan, pelakasanaan konsep pendidikan multikultural itu sendiri perlu dikembangkannya pengalaman kelompok yang dibangun dengan memperhatikan pemahaman yang pada nantinya akan  menjadi sikap yang relatif stabil dan konsisten. Pendidikan multikultural merupakan pendekatan yang mengganti universalisme dengan partikularisme yang memunculkan kesukuan.           Apalagi paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal  4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan,  bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
            Berangkat dari pernyataan diatas sekolah memiliki peranan dalam pembentukan kepribadian peserta didiknya dan belum dapat digantikan oleh sistem yang lain. Pendidikan formal kemudian ikut memberikan andil dalam proses pembentukan kultur itu sendiri. Dengan kata lain, pendidikan formal adalah bagian dari proses pembentukan budaya multikultural dan lembaga pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural ini sangat penting di dalam proses membangun budaya multikultural dalam sistem persekolahan.



            Pendidikan yang bermuatan multikultural tidak mungkin dapat diukur semata-mata dan didasarkan atas standar nasional yang kaku. Sekolah harus berfungsi sebagai lembaga pembudayaan, dalam pengertian menjadi lembaga yang dapat menyediakan kesempatan dan fasilitas untuk terjadinya proses pembudayaan yang dinamis.
            Sudah barang tentu proses ini memerlukan waktu dan usaha yang harus menjadi perhatian guru. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa belajar bukan hanya terjadi pada level perilaku tetapi pemasukan secara internal.
            Menejemen berbasis sekolah memberikan kesempatan yang lebih besar untuk mengakomodasi pendidikan multikultural. Hal ini dapat dicapai melalui tahap pemberdayaan. Sekolah merupakan upaya menciptakan pendidikan yang bermuatan multikultural.
             
Sumber Referensi :
1.                  Yaqin, M.Ainul. 2005. Pendidikan Multikulturalisme. Yogyakarta: Pilar Media
2.                  Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Yogyakarta.